HMI Komisariat STMA Trisakti: Ekspresi Pikiran...

Setiap manusia pasti mempunyai pikiran yang darinya dia akan menghasilkan ide-ide brilian yang dapat mengubah dunia....

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Segenap Keluarga Besar HMI Komisariat STMA Trisakti mengucapkan :

Selamat ulang tahun yang ke 62 untuk HMI..
Semoga dapat segera menemukan kembali jati dirinya. Amin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Selasa, Februari 17, 2009

REFLEKSI 62 TAHUN: BUBARKAN HMI!

Oleh: Pradikta Dwi Anthony


PENDAHULUAN
62 tahun merupakan usia yang sudah cukup tua untuk ukuran sebuah makhluq (sesuatu yang diciptakan), baik yang bersifat mekanis maupun yang bersifat organis. Tidak dapat dipungkiri bahwa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah sebuah organisasi mahasiswa ekstra universiter tertua di Indonesia, karena hari ini (5/2) usianya genap 62 tahun, bahkan banyak yang mengatakan kalau HMI juga merupakan organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia. Namun apakah ukuran kebesaran dari HMI, kuantitas ataukah kualitas? Memang dengan jumlah anggota yang tersebar hampir di setiap perguruan tinggi yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa secara kuantitas HMI merupakan organisasi terbesar di Indonesia. Namun secara substansi, klaim suatu organisasi itu besar atau tidak bukan dilihat dari segi kuantitasnya, tetapi dari segi kualitasnya yaitu intelektualitas dan seberapa besar memberikan pengaruh dan kontribusi untuk masyarakat, bangsa dan negara.
Pasal 9 Anggaran Dasar HMI menyebutkan bahwa “HMI merupakan organisasi perjuangan”, sementara Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya “Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam” menuliskan bahwa setiap organisasi perjuangan harus memiliki sekurang-kurangnya lima anasir inti organisasi, yaitu dasar yang tegas; tujuan yang jelas; pimpinan yang representatif; anggota yang konkrit; dan usaha yang positif kreatif. Oleh karena itulah, HMI sebagai organisasi perjuangan harus memiliki minimal kelima anasir inti organisasi di atas. Pertanyaannya kemudian adalah, sudahkah HMI memiliki itu semua dan dijalankannya? Mari kita coba bedah lalu analisis mengenai hal tersebut dan eksisitensi HMI selama 62 tahun ini melalui sedikit tinjauan yang penulis sebut filosofis-historis-konstitusional.

PEMBAHASAN
1. Dasar (Azas) Yang Tegas

Jika dilihat dari nama juga dalam Pasal 3 Anggaran Dasar-nya yang menyebutkan bahwa ”HMI berazaskan Islam”, meniscayakan bahwa setiap aktivitas organisasi HMI, baik internal maupun eksternal, haruslah mengandung nilai-nilai keislaman (Islami). Sejarah menyebutkan bahwa HMI lahir ketika bangsa dan negara Indonesia sedang dalam upaya mempertahankan kemerdekaannya dari kolonialis-kolonialis asing.
Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, bukanlah suatu sebab utama dipilihnya Islam sebagai azas HMI ataupun karena para pendirinya adalah seorang muslim. Menurut penulis, pemilihan Islam sebagai azas HMI lebih karena Islam adalah suatu ajaran (agama) yang benar dan universal, dimana faktor agama Islam (’aqidah, syari’ah dan akhlaq) itu sendiri, pada awal mula masuknya Islam di Indonesia, ternyata lebih bisa dan banyak “berbicara” kepada segenap lapisan masyarakat Indonesia serta dinilai membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia .
Namun, cita-cita yang dibangun oleh para founding fathers (pendiri)-nya agar HMI berazaskan Islam akan sangat sia-sia dan tidak bermakna bila realitanya ternyata sangat bertentangan dengan ide/cita-citanya itu. Penjajahan sebagai salah satu musuh besar Islam ternyata masih saja terjadi di Indonesia dewasa ini, entah itu oleh pihak asing maupun oleh bangsanya sendiri. Indikasi pengidapan sipilis (sekularisme-pluralisme-liberalisme) oleh para “HMI-ers” pun sangat kentara, hal ini dapat dilihat dari perilaku anggotanya yang terlalu struktural-materialistis.
Islam sebagai suatu dasar (azas/ideologi) organisasi ini pun hanya dipahami sebagai suatu perangkat nilai yang strategis, dimana Islam tidak perlu di demonstrasikan secara tegas bila akan memberikan implikasi yang negatif akibat berbenturan dengan realitas sosial/kekuasaan yang ada, demi kepentingan oknum-oknumnya. Dengan begini, masihkah HMI memiliki dasar yang tegas?


2. Tujuan Yang Jelas
Secara filosofis, rumusan tentang tujuan suatu organisasi haruslah stasioner tidak boleh merupakan suatu proses, karena setiap proses bukanlah tujuan, melainkan usaha; sedangkan usaha itu bukanlah tujuan. Ada berbagai macam tujuan: tujuan terakhir, tujuan intermedier dan tujuan jangka dekat. Ada tujuan umum di samping tujuan khusus. Ada tujuan urgen, tujuan insindental, dan seterusnya. Tujuan yang dirumuskan dalam Anggaran Dasar Organisasi haruslah tujuan terakhir (tujuan umum) organisasi termaksud. Oleh karena itulah, “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahuwata’ala” merupakan tujuan HMI yang terdapat dalam Pasal 4 Anggaran Dasar HMI, yang merupakan suatu konsekuensi logis HMI sebagai organisasi mahasiswa yang berazaskan Islam.
Di dalam melaksanakan usahanya dalam rangka mencapai tujuan akhir (ultimate goal)-nya, unsur pimpinan haruslah menggunakan Strategi, Taktik dan Teknik perjuangan. Dimana hubungan antara ketiganya ialah fungsi teknik adalah untuk memenangkan taktik, fungsi taktik adalah untuk memenangkan strategi dan fungsi strategi adalah untuk memenangkan dan menjayakan Prinsip (Dasar dan Tujuan asasi) organisasi tersebut . Dasar dan Tujuan terakhir perjuangan ummat Islam adalah masalah Prinsip. Islam sebagai Prinsip perjuangan HMI haruslah mempunyai nilai kekal abadi, tidak berubah dengan pergantian waktu dan peralihan tempat apalagi oleh “kepentingan”.
Namun setelah lebih dari 62 tahun berdiri apakah tujuan HMI telah tercapai, minimal dalam lingkup yang paling kecil? Ketidakadilan yang berupa kesenjangan antara si kaya dan miskin yang terlalu jauh, ketidakadilan dalam pemenuhan hak-hak dan kewajiban juga ketidakadilan untuk mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan merupakan beberapa contoh dari banyaknya ketidakadilan yang ada di negara ini, yang sayangnya cukup untuk menisbahkan bahwa HMI hampir tidak berbuat apa-apa dalam pemenuhan tujuannya. Entah hal ini disebabkan karena kesalahan dalam penggunaan strategi, taktik atau pun teknik, yang jelas HMI saat ini tidaklah memiliki tujuan yang jelas karena tidak pernah terwujud.

3. Pimpinan Yang Representatif, Anggota Yang Konkrit dan Usaha Yang Positif Kreatif
Proses regenerasi dalam suatu organisasi pada umumnya sama, yaitu menggunakan suatu sistem demokrasi determinis (sistem suara) sehingga dianggap menghasilkan suatu keputusan (pimpinan baru) yang representatif. Terkait dengan cara-cara untuk melakukan hal ini biasanya disebut dengan politik (suatu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan) .
Dalam rangka memanfaatkan negara/institusi lainnya sebagai media realisasi amanat khilafat dan sebagai alat pengabdian kepada Allah Subhanahuwata’ala, maka seharusnya politik adalah salah satu−bukan satu-satunya−aspek penting dalam perjuangan ummat Islam; berjuang tidak identik dengan berpolitik; dan politik bukanlah sentral perjuangan ummat Islam. Sehingga sebagai organisasi mahasiswa Islam, HMI sebagai organisasi perjuangan seharusnya tidak serta-merta berduyun-duyun menjadikan poltik sebagai satu-satunya tempat untuk berjuang dalam mencapai tujuannya. Terlebih lagi tidak seharusnya HMI dalam berpolitik merujuk kepada definisi politik secara an sich sehingga menegasikan moral dalam berpolitik serta menjadi seorang yang opportunis-pragmatis dan melaksanakan semboyan: Tujuan menghalalkan cara (The ends justifies the means) .
Yang terpenting dari proses regenerasi demi mendapatkan suatu pimpinan yang representatif bukanlah pada hasilnya, namun pada cara-cara untuk mencapai posisi pemimpin tersebut. Dalam sistem Islam dikenal suatu sistem yang bernama khilafah/khalifah, dimana dalam sistem ini yang berhak untuk memegang tongkat kepemimpinan tidaklah dilihat dari unsur banyaknya harta, trah (silsilah), kedekatan dengan seseorang yang berpengaruh/pemimpin sebelumnya dan lain-lain. Tetapi didasarkan kepada iman, ilmu dan amalnya, sehingga pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang memiliki visi profetik (kenabian), yang biasanya tidak hanya representatif karena mengajukan/mencalonkan diri namun representatif (bahkan mutlak) didaulat oleh seluruh warganya.
Sementara itu, seharusnya dalam proses regenerasi di tubuh organisasi (HMI) tidak hanya tentang regenerasi kepemimpinan, tetapi seharusnya juga membahas mengenai apa, bagaimana dan seperti apa organisasi ini nantinya ke depan, yang akan berimplikasi terhadap keputusan-keputusan internal dan eksternal organisasi demi kemaslahatan ummat. Namun ternyata yang ada dan paling substansial dalam proses regenerasi tersebut (Kongres, dll) hanya sebatas perhelatan pemilihan pemimpin baru yang sangat kental dengan definisi politik secara an sich dan sedikit baku hantam.
Dalam konteks hubungan antara organisasi dengan anggotanya, maka dapat dianalogikan bahwa anggota adalah nyawa yang berkehendak sedangkan organisasi adalah jasadnya untuk berkehendak. Anggota yang konkrit merupakan suatu kemestian organisasi formal seperti HMI, karena tanpa anggota yang konkrit tersebut HMI hanyalah berupa simbol: lambang dan nama organisasi. Lalu bagaimana jika ternyata di dalam HMI masih terdapat banyak perangkat-perangkat organisasi yang inkonstitusional, seperti adanya ghost rider? Dimana hal ini dapat dilihat dari adanya suatu fakultas dalam sebuah perguruan tinggi yang sudah ditutup sekian lama, namun nama perangkat organisasi (Komisariat dan anggota)-nya tetap diakui dan dilegalkan; jumlah anggota yang ada dalam suatu wilayah (kota, fakultas, perguruan tinggi) tidak mencukupi kuota minimal namun tetap tidak diturunkan statusnya; dan lain sebagainya.
Hal-hal tersebut di atas akan menjadi sangat wajar jika saja benar bahwa pucuk pimpinan dalan HMI yang dianggap representatif tadi dipilih berdasarkan banyaknya harta, trah (silsilah), atau kedekatan dengan seseorang yang berpengaruh/pemimpin sebelumnya, bukan karena ia memiliki kapabilitas sebagai seorang pemimpin versi Islam.
Inikah maksud dari pimpinan yang representatif, anggota yang konkrit dan usaha yang positif kreatif dalam sebuah organisasi, khususnya organisasi yang berazaskan Islam dan memiliki tujuan yang mulia seperti HMI? Kita rasa tidak.

KESIMPULAN
Melihat anasir-anasir inti organisasi yang telah kita bedah lalu analisis di atas, dimana anasir tersebut adalah suatu syarat umum untuk eksis/diakuinya suatu organisasi secara substansial, yang ternyata memberikan kesimpulan bahwa HMI tidak memiliki dasar (azas/ideologi) yang tegas; HMI tidak memiliki tujuan yang jelas; HMI tidak memiliki pemimpin yang representatif (secara substansial Islam); HMI tidak memiliki anggota yang konkrit; dan HMI tidak memiliki usaha yang positif kreatif, maka hanya ada 2 pilihan untuk HMI ke depannya, yaitu bubarkan dan/atau bubarkan.
Itulah dua pilihan yang mungkin sangat berat untuk “HMI-ers”, namun itulah pilihan yang terbaik. Kesadaran setiap manusia, pasti berkata bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara cita/ide (konsep; gagasan; harapan) dengan realitas yang ada dan manusia pasti akan mengikuti sesuatu yang dianggapnya sebuah kebenaran. Dengan ketidaksesuaian antara konsep/cita-cita awal berdirinya HMI dengan realitas saat ini, kita harus mengakui bahwa HMI bukanlah sebuah kebenaran sehingga layak untuk dibubarkan, terlebih lagi dengan tidak adanya minimal lima anasir inti dalam sebuah organisasi di atas.
Karena yang tersedia hanya dua pilihan tersebut, maka untuk kebaikan HMI dan Indonesia nantinya mari kita bersama-sama BUBARKAN HMI! Kita bubarkan (dekonstruksi) HMI yang majazi, yaitu HMI yang tidak memiliki dasar (azas; ideologi) yang tegas; HMI yang tidak memiliki tujuan yang jelas; HMI yang tidak memiliki pemimpin yang representatif (secara substansial Islam); HMI yang tidak memiliki anggota yang konkrit; HMI yang tidak memiliki usaha yang positif kreatif, HMI yang tidak berkontribusi untuk masyarakat; dan HMI yang tidak membela kaum mustadz’afin, kemudian kita bangun kembali (rekonstruksi) HMI yang sebenar-benarnya HMI, yaitu HMI yang hakiki.
Langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan mereposisi pemahaman Islam sebagai azas dan ideologi HMI, yaitu dari pemahaman Islam sebagai perangkat nilai yang strategis menjadi pemahaman Islam sebagai kerangka ideologi yang dijadikan sumber inspirasi, motivasi sampai kepada pembentuk kerangka gerak. Dimana dengan pemahaman ini, aktivitas organisasi tidak akan banyak terpengaruh oleh berbagai dinamika perubahan realitas sosial yang ada atau pun struktur kekuasaan. Kalaupun ada tekanan dari hal-hal tersebut yang memberikan implikasi negatif terkait eksistensinya sebagai organisasi Islam, maka ia akan memperlihatkan kecenderungan melawan demi mempertahankan Islam sebagai ideologinya. Karena seharusnya seperti inilah pemahaman Islam sebagai ideologi yang dianut HMI, Islam yang sebenarnya Islam.
Kita harus memiliki suatu bentuk kesadaran versi ahli psikologi Mandler (1984), “Kesadaran berfokus pada kesenangan baru atau satu kondisi ‘di luar kebiasaan’, dimana tidak seimbangnya harapan dan realitas” dan Sartre pernah mengatakan, kita harus melakukan pasifitas aktif. Kita harus aktif di tengah cetakan pasif yang ada ini. Sehingga kita dapat membangun kembali egalitarian perkaderan dan mengembalikan konsepsi perkaderan ke dasar awal kelahirannya, yaitu perkaderan dengan sosok dan profil yang profetik (kenabian), ummi sebagaimana yang diamanatkan oleh landasan teologis organisasi ini. Perkaderan yang siap mencetak kader-kader basis yang mampu menjawab setiap kebutuhan marginalisasi masyarakat.
Jika teori siklus peradaban mengatakan bahwa peradaban itu lahir, tumbuh, berkembang, mengalami kejayaan, mundur lalu mati (hancur), maka inilah saatnya bagi HMI yang majazi untuk hancur. Dan bagi siapa saja yang merasa tergugah untuk membubarkan HMI yang majazi, mulai dari sekarang bergeraklah untuk melakukan perubahan itu. Namun jangan sampai wacana perubahan lagi-lagi hanya menjadi diskursus semata, terutama dalam wilayah internal organisasi, karena Karl Marx pun sangat membenci orang yang hanya berdiskusi/membicarakan tentang hakikat sesuatu tetapi lupa/tidak melakukan perubahan. Berikanlah “konkritisasi” terhadap wacana tersebut lalu sebarluaskan ke semua pihak, sehingga sebab-sebab untuk hancurnya HMI yang majazi menjadi lengkap dan terciptalah HMI yang hakiki demi “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahuwata’ala”. Amin. Yakin Usaha Sampai.

−Bersyukur dan Ikhlas−
Read more...

Senin, September 15, 2008

Sains Islam (1) : Keteraturan Alam Semesta

SAINS ISLAM : KETERATURAN ALAM SEMESTA
“Dia yang telah menjadikan langit dan bumi dan
yang ada di antaranya dalam waktu enam hari”
(Q.S.25 : 59)


Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Alam semesta, seperti telah kita ketahui bersama, berasal dari satu masa yang kemudian berdiferensiasi menjadi benda-benda langit. Benda-benda langit itu berbeda-beda sifat dan ukurannya; yang mengeluarkan sinar sendiri disebut bintang, sedang yang tidak mengeluarkan sinar sendiri disebut bulan. Ada lagi batu-batu kecil yang melayang di angkasa, yang kadang-kadang jatuh ke bumi, disebut meteorit. Sehingga yang termasuk bintang adalah matahari dan bintang-bintang lainnya; sedangkan yang termasuk planet adalah bumi, bulan, mars, dan seterusnya. Bintang dan planet tak terhitung banyaknya.

Benda-benda langit itu membentuk suatu kelompok, seperti gugus Bimasakti, sistem matahari kita dan sebagainya. Jumlah gugus itu pun tak terhitung banyaknya. Kemudian benda-benda langit itu, baik kelompok maupun sendiri-sendiri, bergerak secara teratur, meskipun gerakannya macam-macam. Bulan mengelilingi bumi dalam waktu 29/30 hari, dan bumi sambil dikelilingi bulan juga mengelilingi matahari dalam waktu 365/366 hari. Di samping itu bumi berputar sekitar porosnya (rotasi) dengan waktu putaran 24 jam. Selanjutnya matahari, yang menjadi pusat sistem tata surya kita, yang dahulunya disangka diam, ternyata bergerak juga sedikit dari utara ke selatan bolak-balik.
Telah disebutkan di atas bahwa gerakan-gerakan benda-benda langit itu, baik sendiri-sendiri maupun kelompok, berjalan sangat teratur, arahnya tetap dan kecepatannya pun tetap. “Tidak mungkin bagi matahari mendapatkan bulan (bertabrakan) dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Q.S. 36 : 40).
Keteraturan tentunya karena ada hukum, yaitu hukum Tuhan yang berlaku bagi alam atau sunatullah; dan karena adanya keteraturan itulah maka manusia dapat memetik manfaatnya. “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin” (Q.S. 31 : 20).
Bumi mengelilingi matahari dalam waktu satu tahun (365/366 hari), sedangkan matahari bergerak sedikit dari utara ke selatan bolak-balik. Akibat kedua gerakan itu maka terjadilah 4 musim di sebelah utara dan sebelah selatan daerah khatulistiwa, serta musim hujan dan kemarau di daerah khatilistiwa. Bagaimana bila tidak ada kedua gerakan itu? Tentu tak ada pergantian musim! Artinya yang kebanjiran tetap kebanjiran; yang kemarau makin kering; yang dingin mati beku; dan yang panas makin kering. Di samping itu poros bumi miring 23 derajat, sehingga akibatnya setahun sekali kutub utara dan kutub selatan mengalami periode dekat dengan matahari, sehingga sebagian saljunya mencair. Bila tidak demikian, maka kutub utara dan kutub selatan akan terus-menerus jauh dari matahari, sehingga akan terjadi timbunan salju yang makin lama makin menggunung, sedang di daerah khatulistiwa air laut akan makin susut, kadar garamnya makin tinggi, dan pengaruhnya terhadap tata kehidupan bisa kita bayangkan.
Kemudian bumi berputar pada porosnya dengan waktu putaran 24 jam, maka terjadilah siang dan malam. Bila bumi tak berputar, maka belahan bumi yang gelap akan tetap gelap, dingin dan membeku; sedangkan belahan bumi yang terang akan akan tetap terang, kepanasan dan kering. Jangankan demikian, kalau waktu rotasi bumi lebih lambat, yaitu kalau siang dan malam diperpanjang waktunya dari yang sekarang, tentu akan sangat berpengaruh terhadap tata kehidupan planet kita ini. Sebaliknya bila bumi berputar lebih cepat, maka benda-benda yang ada di permukaan bumi ini akan terpelanting. “Dan Allah menentukan ukuran malam dan siang” (Q.S. 73 : 20).
Bagaimana bila bumi berputar atau mengelilingi matahari dengan kecepatan yang tidak teratur, atau kadang-kadang berhenti walaupun sesaat? Tentu makhluk hidup yang ada di muka bumi ini akan dihadapkan pada suatu ketidakteraturan, akan dihadapkan pada situasi yang tidak menentu, akan dihadapkan pada perubahan-perubahan yang ekstrim. Penyesuaian diri (adaptasi) terhadap keadaan yang semacam itu tidaklah mungkin, berarti hidup juga tidak mungkin. “Dia menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yuang benar. Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam, dan menundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan” (Q.S. 39 : 5).
Jarak rata-rata matahari dengan bumi adalah 149.450.000 km, sedang panas permukaan matahari adalah 6.000 derajat Celcius. Bila jaraknya lebih jauh dari yang sekarang, maka bumi akan terlalu dingin, apalagi di waktu malam. Sebaliknya bila jaraknya lebih dekat dari sekarang, maka bumi akan terlalu panas; mungkin hanya bangsa kuman yang bisa hidup. Jadi jarak bumi dengan matahari itu diatur sedemikian rupa sehingga cocok untuk kehidupan manusia dan makhluk lainnya.
Bulan mengitari bumi dalam waktu 29/30 hari, dan mengakibatkan pasang dan surut permukaan air laut. Dengan adanya pasang dan surut air laut tersebut, maka hewan-hewan kecil, yang mengubur diri di dalam pasir di tepi pantai, mempunyai kesempatan untuk mendapatkan makanan. Di samping itu, beberapa jenis ikan bertelur di pasir pantai pada waktu bulan purnama, yaitu pada saat pasang yang paling tinggi. Ketika air surut telurnya tertinggal dalam pasir. Pasang besok paginya tidak mencapai tempat telur terkubur, karena pasang menurun. Demikianlah selama kira-kira 2 minggu telur-telur ikan itu terkubur dalam pasir yang lembab dan hangat, yang sangat baik untuk pertumbuhan embryo. Dua minggu kemudian pasang naik lagi mencapai tempat tersebut pada saat telur telah siap untuk menetas.
Jarak bumi dan bulan adalah 384.403 km. Bila jaraknya lebih dekat lagi, maka pasangnya akan terlalu tinggi dan akan menimbulkan banjir serta erosi tak dapat dihindarkan. Demikian itu adalah keteraturan dalam jarak dan gerak serta kecepatan bumi, bulan dan matahari.
Di samping itu matahari, bumi dan bulan mempunyai ukuran massa yang cocok (teratur) satu sama lain. Daya tarik-menariknya sedemikian rupa sehingga satu sama lain tidak bertabrakan. Ukuran panas matahari pun sesuai dengan jaraknya terhadap bumi, sehingga tidak sampai membakar. Begitulah segalanya teratur, cocok antara massa, jarak dan gerak. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (Q.S. 54 : 49).
Keteraturan itu bukan hanya menyangkut bumi, matahari dan bulan saja, tetapi menyangkut semua benda-benda langit, baik bintang maupun planet, baik gugus maupun sendiri-sendiri. Benda-benda langit dan gugus benda langit itu tak terhitung banyaknya, maka keteraturan yang terdapat padanya juga tak terhitung banyaknya. Ditambah lagi dengan keteraturan pada organisme yang hidup di bumi ini, bukan lagi tak terhitung banyaknya, tapi tak terbayangkan banyaknya.
Mungkinkah keteraturan yang tak terbayangkan banyaknya itu terjadi karena kebetulan? Mari kita lihat, untuk mendapatkan gambaran bagaimana sulitnya mendapatkan keteraturan secara kebetulan, cobalah kita menghitungnya dengan teori peluang. Umpamakan kita mempunyai seratus butir kelereng di dalam sebuah kotak lalu kita beri nomor 1 sampai 100. Sesudah kita mengambil sebutir kita kembalikan lagi ke dalam kotak dan kita kocok, kemudian baru mengambilnya lagi. Supaya terjadi satu deret keteraturan dari satu sampai seratus, maka kita harus mampu mengambil nomor-nomor itu secara berurutan dari No. 1, 2, 3, 4, 5, . . . 100.
Peluang untuk mendapatkan No. 1 pada pengambilan pertama adalah 1/100, peluang untuk mendapatkan No. 2 pada pengambilan yang kedua adalah 1/10.000, peluang untuk mendapatkan No. 3 pada pengambilan yang ketiga adalah 1/1.000.000. Berapakah peluang untuk mendapatkan No. 100 pada pengambilan yang keseratus? Tak terbayangkan kecilnya! Itu baru dengan 100 nomor.
Berapakah keteraturan yang terdapat dalam alam semesta ini? Tak terhitung! Maka menurut dugaan para ahli, bila alam semesta ini terjadi secara kebetulan, akan terlalu lama waktu yang diperlukan, tidak akan selesai tersusun dalam waktu 5-10 milyar tahun sebagaimana umur alam semesta yang diperkirakan sekarang.
Bila dalam waktu yang terukur muncul keteraturan-keteraturan yang jumlahnya tidak terukur, maka peluang untuk munculnya keteraturan itu secara kebetulan adalah nol! Dan peluang untuk tidak terjadi secara kebetulan (disengaja) adalah satu! Peluang yang sama dengan nol disebut mustahil, sedang peluang yang sama dengan satu disebut wajib, dan peluang yang terletak antara nol dan satu disebut mungkin.
Oleh karena itu, maka wajib adanya Tuhan Maha Pencipta dan Maha Pengatur. “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya dengan main-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi mereka tidak mengetahuinya.”(Q.S. 44 : 38-39).


Wallahu’alam bish shawab
Wabillahit taufiq wal hidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Read more...

Rabu, Juni 18, 2008

DUAL I-NESS

Beberapa dari kita mungkin masih ingat akan sosok seorang filsuf era modern dari Jerman, Friedrich Nietzche, beberapa dari kita mungkin sudah lupa atau bahkan tidak pernah tahu sama sekali. Ya! Nietzche, seorang filsuf tenar yang menggemparkan dunia Barat maupun Timur dengan perkataannya bahwa, “Tuhan telah mati!”
Kami tidak begitu tahu banyak tentang dia, riwayat hidupnya, atau dasar dia berargumen tentang hal itu. Yang jelas (mungkin) kita sama-sama tahu bahwa dia adalah seorang manusia biasa layaknya kita semua. Yang kami tahu hanyalah sekelumit cerita tentang dirinya di masa tuanya, atau mungkin lebih tepatnya di hari-hari menjelang akhir riwayat hidupnya…

“Suatu hari Nietzche berjalan menyusuri suatu jalan di mana ia melihat seekor kuda yang berusaha keras untuk ke luar dari sebuah parit, bernafas terengah-engah di bawah muatan berat dari sebuah kereta yang terjungkir di atasnya. Nietzche mengamati si pemilik sedang berusaha memaksa kuda itu agar ke luar dari himpitan sehingga ia tidak akan kehilangan muatan keretanya. Binatang itu sudah sedemikian terjerembab untuk bergerak, tetapi si pemilik yang nampaknya terlalu sayang pada muatan kereta daripada keselamatan kudanya, mulai mengayunkan cemeti di atas punggung kuda secara sangat bengis. Kuda itu mulai bergerak sedikit keluar dari parit tersebut, tetapi ia gagal dan terjatuh kembali ke dalam parit, salah satu kakinya patah dan kelihatan sangat payah.
Marah menyaksikan pandangan yang mengerikan akibat brutalitas manusia tersebut, filsuf tua itu memberitahukan si petani agar menghentikan cambukannya pada kuda yang malang itu. Ia menasihati agar pertama-tama muatan itu diambil terlebih dahulu, baru kemudian kuda itu ditolong ke luar dari parit. Tetapi si pemilik tidak menggubris kata-kata Nietzche. Karena itu ia terus menghujani cambukan dan mendorong kuda itu. Hal itu membuat marah sang silsuf sedemikan rupa sehingga ia melompat dan memegang leher baju si petani sambil berkata, “Saya tidak akan membiarkanmu mencambuk binatang malang ini begitu kejam!” Akan tetapi petani itu melepaskan diri dan memukul jatuh Nietzche dan memukulnya lagi sangat keras, sehingga ia meninggal beberapa hari kemudian.
Nietzche, seorang filsuf yang di masa mudanya mencintai kekuasaan dan kekuatan serta memujanya, sekarang berdiri melawan kekuatan itu untuk menyelamatkan makhluk yang lemah dan terinjak-injak; akhirnya ia mengorbankan dirinya untuk suatu cita-cita kemanusiaan…”
Jika kita mendengar cerita ini, pasti kita akan bereaksi dengan suatu perasaan yang kontradiktif. Kita menyadari bahwa kontradiksi dalam perasaan kita terhadap peristiwa itu disebabkan karena kita memiliki dua kepribadian dalam ke-aku-an (dual I-ness). Kepribadian pertama, kita menghargai keagungan spiritual Nietzche, sentimen moral dan nuraninya yang responsif. Ia akan ikut menyertai tindak pengorbanan itu dalam menyelamatkan suatu makhluk yang malang dari tirani manusia. Ini adalah kepribadian manusiawi kita yang terlalu sensitif untuk mentolerir suatu pemandangan yang kejam dan mengerikan. Kepribadian kedua, kita akan bereaksi terhadap kejadian di atas dengan cara yang lebih praktis. Ia akan mencemooh pengorbanan Nietzche atas dirinya demi seekor binatang angkutan. Ia akan melihat seluruh peristiwa itu sebagai lelucon dan absurd. “Seorang jenius besar dalam sejarah mengorbankan hidupnya yang sangat bermanfaat demi menyelamatkan seekor kuda? Alangkah pandirnya. Betapa lucu dan tak masuk akal!” Demikianlah ia akan melakukan rasionalisasi.
Respon manakah yang anda pilih dan mengapa?


Read more...

Jika ingin menerima pemberitahuan mengenai postingan baru, masukkan alamat email Anda dibawah...

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

This Day In A History...

 
Date Conversion
Gregorian to Hijri Hijri to Gregorian
Day: Month: Year